Jumat, 22 Februari 2013

Mengenal Lebih Dekat Prosesi Adat Perkawinan “Naek Tiang Kule”

Acara adat Kota Lubuklinggau Mandi Kasai foto oleh Dispudbar Lubuklinggau 2011

Propinsi Sumatera Selatan khususnya Kota Lubuklinggau memiliki karakteristik daerah religius dan ditopang dengan budaya bermasyarakat yang luhur, serta memilki filosofi kehidupan bermasyarakat yang tinggi. Hal ini tercermin dari produk budaya tradisional daerah, seperti upacara adat perkawinan, upacara adat mandi kasai, seni tari, seni teater, seni rupa
, seni batik, dan jenis seni budaya lain, ditenggarai memiliki filosofi kehidupan yang tinggi, dimana nilai-nilai filosofi tersebut dikemas dengan simbol-simbol warna, simbol gerak, simbol suara, serta simbol ungkapan dan sindiran yang mencerminkan pepatah dan petunjuk hidup dan kehidupan masyarakat. Nilai-nilai filosofi tersebut perlu digali dan dipahami oleh segenap masyarakat Linggau, terutama generasi penerus bangsa, sehingga mereka mengerti secara benar makna kehidupan dan tradisi adat Linggau yang berlandaskan keseimbangan antara perilaku manusia dengan putaran waktu dan sistem alam semesta.
Perbedaan kultur dan budaya bangsa-bangsa di dunia merupakan media komunikasi dan alat pembelajaran penelusuran sejarah kehidupan. Masing-masing budaya bangsa menjelaskan bagaimana suatu bangsa berproses menjadi sebuah negara, serta bagaimana bangsa tersebut mengembangkan kehidupannya dengan budaya yang dimilikinya. Karakteristik suatu bangsa sangat jelas terlihat dari kultur budayanya, sehingga terdapat penggalan jelas antara kultur budaya timur dan kultur budaya barat.
Era globalisasi dan pesatnya perkembangan media informasi dunia, menyebabkan karakteristik budaya negara-negara di dunia terpolarisasi, dan akhirnya mengkristal menjadi budaya milenia yang merupakan serapan budaya barat. Tidak nampak lagi adi luhung yang mencerminkan keistimewaan budaya masing-masing negara, perkembangan kehidupan terarah kepada pengakuan budaya barat melalui dominasi media dunia, dampaknya generasi penerus bangsa-bangsa di dunia tidak lagi mengapresiasi budaya bangsanya sendiri, dan kultur budaya bangsa hanya sebagai referensi sejarah dan tontotan opera. Mereka merasa asing dengan budayanya sendiri, sementara budaya barat menjadi live style yang menglobal.
Indonesia sebagai bangsa yang dibangun dengan berbagai macam kebudayaan daerah, dan dilandaskan kepada budaya saling menghormati perbedaan, telah mencapai tahap pembangunan bangsa yang mensejahterakan rakyatnya. Namun setelah tingkat penyerapan budaya asing begitu besar, dan filosofi budaya asing terserap sangat mendasar melalui “filosofi kebebasan individual” telah memporakporandakan kehidupan berbangsa. Hampir seluruh aspek kehidupan tidak lagi menghargai nilai-nilai budaya lokal dan norma, namun lebih mengedepankan nilai-nilai material. Sehingga kehormatan manusia diukur dengan angka-angka, dan tujuan hidup terbatas sejumlah harta.
Prosesi adat perkawinan Naek Tiang Kule merupakan kegiatan budaya yang berkembang di Kota Lubuklinggau sejak jaman dahulu dan tetap lestari yang merupakan bagian dari budaya Indonesia dan Dunia. Naek Tiang Kule adalah peristiwa budaya yang merupakan bagian dari proses adat perkawinan. Naek Tiang Kule merupakan proses Rasan Berasan yang harus diketahui oleh pemerintah setempat. Bila proses ini selesai, maka Dere akan menyandang status Nyan dan Bujang akan menyandang status Tunang. Sebagai tanda, ibu dari Bujang akan memberikan rebang kepada Dere untuk dikenakan dan rebang harus dipakai hingga proses pernikahan. Begitu juga sebaliknya, ibu dari Dere akan memberikan selendang untuk dikenakan oleh Bujang.

Dalam prosesi perkawinan sebelum menuju Naek Tiang Kule, didahului dengan pemberian Gan oleh Bujang kepada Dere (Gadis). Gan merupakan tanda dari pihak Bujang kepada pihak Dere bahwa mereka akan mengikat janji untuk menuju gerbang pernikahan. Biasanya berupa sen, pisau, cincin dan sapu tangan. Sen memiliki makna simbol penghargaan dari bujang kepada dere. Pisau memiliki makna semangat untuk membentuk kehidupan keluarga sakinah, mawwadah, warrohmah. Cincin memiliki makna bahwa si Bujang ingin sekali mengikat Dere dalam ikatan perkawinan. Gan biasanya diberikan Bujang kepada Dere tiga hari sebelum Proses Nyusuk Rasan Kule.

Setelah Bujang memberikan Gan kepada pihak Dere, maka Bujang mengabarkan kepada keluarganya, bahwa ia berniat untuk memperistri sang Dere. Maka berkumpullah pihak keluarga Bujang, dan mereka menunjuk Ketue Rasan. Ketue Rasan adalah orang yang dianggap mampu untuk menyampaikan maksud dan kehendak kepada pihak Dere. Kemudian si Bujang akan mengabarkan kepada pihak Dere bahwa keluarga Bujang akan bertandang ke-keluarga Dere. Mendengar berita tersebut, maka Dere juga akan menyampaikan kepada keluarganya akan rencana kunjungan dari keluarga Bujang.

Kemudian pihak Bujang beserta keluarga datang ke rumah Dere, proses ini disebut Rasan Berasan, biasanya pihak keluarga Bujang membawa gula, kopi, beras, kelapa, ayam, dan lain sebagainya. Kemudian kelengkapan untuk Nyusuk Rasan Kule, sirih masak, kapur, gambir dan pinang serta pinggan kecil. Sirih dilipat sebagai lambang penghormatan, Gambir bermakna pembicaraan harus manis, Pinang lambang Kitab Simbur Tjahaye, Kapur bermakna membasmi hal-hal yang jahat dan tidak baik.

Rombongan pihak Bujang disambut oleh Keluarga Dere, memasuki tempat yang telah ditentukan. Setelah itu, Ketue Rasan akan menyodorkan pinggan kecil yang berisi sirih masak, dengan tampuk sirih kearah Ketue Rasan Dere. Usai Ketue Rasan Bujang menyodorkan pinggan kecil berisi sirih masak, maka Ketue Rasan Dere akan menekan sirih masak tersebut dan memutarnya tampuknya kembali kearah Ketue Rasan Bujang, ini berarti bahwa Ketue Rasan Dere mempersilahkan Ketue Rasan Bujang untuk berbicara menyampaikan maksud dan tujuan mereka, dengan Haramba, yaitu: “Atak ayak si atak ayak, atak ayak lore temege, sirih pinang ku atur dulu, atak ayak ku ngatur kate, sembah ku ngiring mangunian. Ayolah besan makan sirih, sirih kalakap pinang talang, sirih dak cukup pinang kurang, kak lah oleh Bujang Alap”. Kemudian dibalas oleh Ketue Rasan Dere, “Ayolah calon besan, name semaje ponga, kami siap untuk nerime”.
Setelah berbalas Haramba, Ketue Rasan Bujang dan Ketua Rasan Dere terlibat dalam pembicaraan seputar maksud dan tujuan dari rombongan Bujang. Kemudian Ketue rasan Bujang membuka pembicaraan dengan menggunakan bahasa daerah setempat “Kami kak ade semaje, menurut kabar dari sang Bujang kami, di uma kak ade Dere, kabar a Bujang ngan Dere kak la bebusik, begurau ngan Dere, ulasa la lame bebusik ade kate sepakat, Bujang kami nak minang Dere hikak”.
Mendengar apa yang disampaikan oleh Ketue Rasan Bujang, Ketue Rasan Dere memanggil Dere untuk mempertanyakan kebenaran berita tersebut. Saat itu juga, Dere keluar dan menjelaskan kebenaran yang disampaikan oleh pihak Bujang sambil memperlihatkan Gan.
Apabila Ketue Rasan Bujang menyanggupi permintaan dari Ketue Rasan Dere, maka masuk ke proses Naek Tiang Kule, yaitu proses rasan berasan yang harus diketahui oleh pemerintah setempat. Bila proses ini selesai, maka Dere akan menyandang status Nyan dan Bujang akan menyandang status Tunang. Sebagai tanda, ibu dari Bujang akan memberikan rebang kepada Dere untuk dikenakan dan rebang harus dipakai hingga proses pernikahan. Begitu juga sebaliknya, ibu dari Dere akan memberikan selendang untuk dikenakan oleh Bujang. Kemudian dilanjutkan dengan Sembah Sujud yang dilakukan oleh Bujang dan Dere kepada kedua orang tua, nenek, kakek, paman, bibi, dan kerabat dari kedua belah pihak.
Biasanya 20 hari setelah hari rasan berasan, pihak Tunang akan melakukan proses Ngatat Dendan. Ngatat Dendan menyerahkan permintaan atau beban tugas yang pernah disampaikan oleh Ketue Rasan Dere kepada Ketue Rasan Bujang sewaktu proses Nyusuk Rasan Kule. Ketue Rasan Tunang menyampaikan seluruh permintaan yang pernah dibebankan kepada mereka, setelah itu ditentukan waktu pelaksanaan pernikahan. Sebagai catatan, apabila terjadi rasan urung yang dilakukan oleh pihak Dere, maka Dere akan membayar denda 2 x lipat dari permintaan yang pernah diajukan
kepada pihak Bujang, begitu juga bila rasan urung dilakukan oleh pihak Bujang juga akan dikenakan denda, Gan tidak akan dikembalikan ke Bujang dan harus membayar Ubat Asek Dere sesuai dengan kesepakatan.
Dari uraian di atas terlihat jelas nilai-nilai budaya yang begitu luhur yang tercermin dalam proses upacara adat perkawinan tersebut. Sampai saat ini budaya tersebut masih dapat dijumpai di beberapa daerah dalam wilayah Kota Lubuklinggau. Namum peristiwa budaya tersebut hanya dipahami oleh sebagian masyarakat Linggau, khususnya para sesepuh dan para pemangku adat, tapi para generasi mudanya tidak mengetahui secara pasti dan tidak berminat untuk menggali dan melestarikan kekayaan seni budaya daerahnya sendiri. Padahal mereka merupakan para pewaris nilai-nilai luhur seni dan budaya. Diharapkan dengan tulisan yang sederhana ini mampu menggugah kesadaran dan kepedulian kita terhadap seni dan budaya daerah. Sehingga mampu menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
Kepedulian kita terhadap seni budaya daerah merupakan bagian dari budaya Indonesia, akan menciptakan kecintaan kita pada seni dan budaya yang berakar pada karakteristik kehidupan sosial budaya masyarakat, sehingga akan memperkaya pemahaman kita terhadap perkembangan seni budaya sendiri. Siapa lagi yang akan menjaga dan melestarikan nilai-nilai budaya daerah dan kekuatan lokal, jika tidak kita sendiri. Semoga pemikiran yang sederhana ini setidaknya mampu menjadi semangat bagi kita untuk menggali dan melestarikan seni budaya daerah, jangan sampai hilang begitu saja tanpa ada upaya pelestarian.
Namun jika ada bagian dari masyarakat yang kebetulan bukan asli masyarakat Linggau berniat mencari dan melestarikan seni dan budaya daerah, seolah-olah selalu dipersalahkan. Padahal mereka para pekerja dan pecinta seni budaya daerah tidak ada niat untuk menyudutkan nilai-nilai seni dan budaya yang berkembang. Mereka bekerja karena kesadaran kolektif untuk menjaga dan melestarikan nilai-nilai luhur yang tercermin dalam setiap aktivitas seni dan budaya daerah.
Oleh karena itu, diperlukan kesadaran bagi seluruh elemen masyarakat Linggau tentang makna seni dan budaya daerah bagi kehidupan manusia, sehingga mampu berfungsi sebagai wahana pencerahan bagi nilai-nilai luhur yang hidup dan berkembang secara turun menurun, sehingga tidak hilang ditelan modernitas.

Artikel ini ditulis Oleh SUHARIYOKO, M.Pd
Sumber: http://yokohumas.blogspot.com/2009/07/pemberdayaan-seni-dan-budaya-daerah.html?showComment=1361519050002#c2217437956247119306
 

Berita Terkait Lainnya